kisah
Pagi sepi mencemoohku, saat bayang sendiri memapah langkah. Terbayang jelas mata wanita itu yang menatapku di persimpangan kelas, 3 November 2004 lalu.
Aku lalu mengikuti pandangan itu. Tak ku lepas sampai terdapat hasrat, "ingin ku mengenalnya".
Sudah itu lekas berlalulah dia, namun bekas jejaknya tak sama sekali hilang. Aku pun menyimpannya buat kenangan.
Sungguh di selipan hatinya ku rekat kata, mewakili asa, mengkayuh seluruh rasa. Hanya tinggal tunggu, dia dan ku menyatu.
Sementara tidak dengan yakin padaku. Dan tetap takkan ku berbalik arah. Tak ku hendaki jeda, sekalipun lelah.
Di hari kemudian yang sesuatu mendebu, rindu menyapa di kepagian dan memberi tau padaku seorang yang punya sebungkus tanya di hatinya. Adalah tika kali pertama kau datang lantas sepenuhnya membawa rasa. Matilah kau sepi! ku bilang.
Sampai sejauh aku dan langkahku, sedikit tak pernah terbenak akan matahari lain yang cahayanya disembunyikan. Bahkan bulan di malam itu tak pernah alpa memergoki aku yang sendiri.
Aku menuntut keadaan, kenapa bisa sampai dusta dibenarkan? Dan sepertinya keadilan belum berpihak seperti yang terbaca.
Ya Tuhan, akankah inginku memenuhi raga? Akankah dia yang ku ingin menelan rasaku juga? Yang ku mampu bersandar pada takdir. Memanjakan mimpi yang tanpa titik. Dan hanya dapat ku kumpulkan kepingan rindu yang lalu.
Hampir tak ku percaya sepi tak bisa mati. Juga sunyi, semakin mengelupas balutan rinduku, kemudian melumat asa dan rasa. Memahat kasih. Memahit kisah. Seberapa lama mesti ku menunggu?
Akhirnya sedikit sinar menyerang. Meski membias, setidaknya dapat ku gapai kembali rindu yang dulu tersangkut dalam remang-remang, :kau dan ku. Dan kita tak ada henti mengukir kisah. Kecuali kau tau, aku tak bisa selamanya menunggu.
(dari kisah Selasa, 6 September 2005)
***
Hak cipta pada irvan r destriana; |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar